Iklan VIP

Rabu, 18 Maret 2020, 21:18 WIB
Last Updated 2021-06-17T16:01:09Z
BaliBeritaJembrana

Bagaimana Jika Hari Raya Lainnya Bertepatan Dengan Hari Raya Nyepi

Peduli Rakyat News | Jembrana,- Bali yang dikenal sebagai Pulau Dewata memiliki banyak sekali aturan-aturan baik dalam menjalankan tradisi ataupun budaya. Inilah yang membuat Bali menjadi unik bahkan hingga terkenal di Manca Negara karena dihadapkan hal ini, umat tetap santun dalam pelaksanaannya. Salah satunya, Bali mengenal banyak hari raya yang dikenal dengan istilah rahinan, diantaranya ada hari raya Galungan dan Kuningan, hari raya Pagerwesi, hari raya Saraswati, hari raya Siwaratri dan seterusnya.

Dalam pelaksanaan hari raya layaknya yang juga dilakukan oleh umat lain, pada intinya semua akan melaksanakan hari raya ini dengan nuasa kemeriahan. Hingga menjadi hal berbeda khususnya dengan pelaksanaan hari raya Nyepi.

Mengapa demikian, karena hari raya Nyepi berasal dari kata sepi (sunyi, senyap). Hari Raya Nyepi ini sebenarnya merupakan perayaan Tahun Baru Hindu berdasarkan penanggalan/kalender Caka, yang dimulai sejak tahun 78 Masehi. Namun, dalam pelaksanaan Nyepi ini tidak seperti perayaan tahun baru Masehi. Dimana, tahun baru Caka di Bali dimulai dengan menyepi. Tidak ada aktifitas seperti biasa, karena umat harus melaksanakan Catur Bratha Penyepian, diantaranya Amati Gni (tidak menyalakan api atau amarah), Amati Lalungan (tidak bepergian), Amati Lalanguan (tidak melalukan pesta atau kemeriahan = berupasa) dan Amati Karya (tidak bekerja). Hingga semua kegiatan ditiadakan, termasuk pelayanan umum, bahkan seperti Bandar Udara Internasional pun tutup, mungkin terkecuali untuk Rumah Sakit.

Lalu bagaimana jika kebetulan pelaksanaan hari raya yang umumnya dilakukan dengan kemeriahan seperti di atas apabila berbenturan dengan pelaksanaan hari raya Nyepi.

Hal inilah yang terkadang membuat kebingungan bagi sebagian umat Hindu di Bali.

Jro Mangku Suardana yang akrab dipanggil Jro Mangku Suar, Rabu (18/3) yang juga saat ini menjabat sebagai Sabha Walaka PHDI Kabupaten Jembrana, di sela-sela aktifitasnya memimpin persembahyangan umat sebagai salah seorang Pemangku di Pura Dangkahyangan Rambutsiwi menjelaskan, terjadinya benturan atau pelaksanaan hari raya seperti hari raya dijelaskan di atas jatuhnya bisa bersamaan dengan pelaksanaan Nyepi, ini adalah karena penetapan hari raya bagi umat Hindu di Bali didasarkan atas beberapa perhitungan yang mengacu pada Wariga. Yakni, ada perhitungan jatuhnya hari raya yang menggunakan wewaran (harian), juga ada yang menggunakan pawukon atau wuku (mingguan), ada yang hitungan atas pananggal/pangelong (lima belas harian) dan juga ada yang menggunakan perhitungan sasih (bulan) bahkan ada hitungan yang menggunakan dawuh (waktu/jam).

Menurutnya, umat tidak harus bingung ketika menghadapi atau melaksanakan hari raya seperti dijelaskan di atas jika jatuhnya bersamaan dengan hari raya Nyepi. Seperti misalnya, hari raya Budha Kliwon wuku Pahang yang lumrah di Bali disebut hari raya Pegatwakan yang jatuh pada hari Rabu tanggal 25 Maret 2020 kebetulan bersamaan dengan pelaksanaan hari raya Nyepi. Sementara pada hari Pegatwakan ini banyak umat Hindu di Bali yang melaksanakan Upacara Piodalan di Merajan (Pura Keluarga). "Ini kan tinggal diaksioma, yang biasa disebut dengan Alahing Sasih yakni Wewaran alah dening Wuku, Wuku alah dening Pananggal/Panglong, Pananggal/Panglong alah dening Sasih, Sasih alah dening Dauh, Dauh alah dening Sang Hyang Triodasa Saksi. Sekarang tinggal realisasi, bahwa hari raya raya Pegatwakan jatuh berdasarkan Wuku sementara Nyepi berdasarkan Sasih, jelas hari raya Pegatwakan 'tidak wajib' dirayakan karena pada prinsipnya dalam Wariga perhitungan Wuku alah dening Sasih dan ini berlaku untuk semua rerahinan yang berbenturan, jelasnya gunakan aksioma Alahing Sasih ini. Hingga rasanya tidak dipandang perlu harus berisi parum (rapat) begini begitu lagi, apalagi sampai menggelar pesamuhan karena apanya yang harus diruwetkan lagi sebab uger-uger (peraturan) itu sudah dibuat serta oleh para lelangit (leluhur) Bali", jelasnya.

Ditambahkannya, uger-uger (peraturan) ini sudah berjalan sejak ratusan tahun silam. Para lelangit (leluhur) kita tidak pernah ruwet menjalankan hal ini, sebab sebelum berucap dan bertindak pastinya beliau-beliau sudah berpikir terlebih dahulu sebelum mengambil sikap atau keputusan agar para generasinya tetap bisa dengan solid melaksanakan apa yang telah dipakemkan. "Hingga terkait rerahinan, beliau pastinya juga sudah membuat penentuan padewasan seperti apa yang telah ditetapkan menurut sebagian besar dalam teks Wariga", imbuhnya.

Jro Mangku Suar yang juga masih aktif sebagai anggota TNI dan hingga sekarang berdinas di Timintel Korem 163/Wirasatya ini juga mengingatkan pentingnya hidup saling menghargai guna dapat senantiasa melestarikan tradisi, seni maupun budaya, dengan hidup berbhineka karena di era globalisasi ini manusia akan dihadapkan pada sisi kehidupan yang semakin kompleks, demi Ajeg Bali hingga di masa depan nanti. "Hal yang paling penting dalam melakukan Upacara adalah mendapatkan nilai Satwika diantaranya menjalankan apapun itu dasarnya adalah Lascarya atau Ikhlas. Begitupun melaksanakan hari raya lainnya yang berbenturan dengan hari raya Nyepi, yang paling baik adalah melakukannya dalam konteks sinergisitas dengan pelaksanaan Catur Brata agar memperoleh Santih Atmanastuti serta Rayahu dan Jagadhita", tutup Jro Mangku Suar. (Agus)